Mutiara Hadis

Dari Abu Hurairah ’Abdurrahman bin Shakhr radhiyallohu’anhu, dia berkata: ”Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda: ” Apa saja yang aku larang bagi kamu hendaklah kamu jauhi, dan apa saja yang aku perintahkan kepadamu maka lakukanlah sesuai kemampuanmu. Sesungguhnya kehancuran umat-umat sebelum kamu adalah kerana mereka banyak bertanya dan menyelisihi nabi-nabi mereka (tidak mahu taat dan patuh).”

Hadis riwayat Bukhari dan Muslim.

21 April 2010

Zaman Nabi Muhammad (Madinah)

Setibanya di Madînah tanpa membuang-buang waktu, Rasûlullâh saw. langsung memulai aktifitasnya yang diarahkan kepada dua tujuan:

Pertama: Menumbuhkan umat Islâm menjadi kelompok mu'min yang satu, yang dipenuhi oleh rasa persaudaraan, persamaan dan keadilan, serta diberlakukannya syari'at Islâm di tengah-tengah mereka.

Kedua: Mempersiapkan faktor-faktor kekuatan umat ini agar mampu memasukkan seluruh bangsa 'Arab ke dalam aturan Allâh yang universal, kemudian memasukkan seluruh manusia -- selain bangsa 'Arab -- ke dalam pengayoman Islâm.

Adapun langkah yang Beliau tempuh untuk merealisasikan tujuan ini ialah:

01. Menegakkan ukhuwah (persaudaraan) di antara kaum Muslimîn, yaitu mempersaudarakan antara kaum Muhâjirîn, kaum pendatang, yaitu Muslimîn Makkah dengan kaum Anshâr, yakni penduduk asli Madînah.


02. Membangun Masjid Jamî' di Madînah untuk menegakkan shalat jama'ah, dan sebagai pusat kegiatan dan pertemuan individu umat, di mana mereka dapat berkomunikasi dengan Nabi mereka dan para sahabat pendamping Beliau.

03. Mengadakan ikatan perjanjian di antara penduduk Madînah, dan menerangkan hak-hak individu dan kewajiban mereka terhadap sesama mereka sebagai umat Islâm. Kaum Yahûdi pun ikut bergabung ke dalam ikatan perjanjian ini [1], akan tetapi mereka akhirnya mengkhianati perjanjian itu di belakang hari.

Menyebarluaskan Islâm ke Sekitar Madînah :

Rasûlullâh saw. melanjutkan kegiatan da'wahnya kepada penduduk yang ada di sekitar Madînah, Beliau menyeru mereka untuk masuk Islâm dan bergabung ke dalam umat Islâm, atau mengadakan ikatan perjanjian damai dengan umat Islâm.

Sebagian dari qabilah itu ada yang menerima da'wah Beliau, ada juga yang hanya membuat perjanjian damai, tetapi ada juga yang menolak bahkan memerangi Beliau dan merintangi da'wah Islâm. Kepada mereka ini, Beliau tidak segan-segan menggunakan kekuatan pasukan untuk menghadapinya demi melancarkan jalan da'wah . Untuk itu Beliau secara teratur melakukan ekspedisi militer yang langsung di bawah pimpinan Beliau dan disebut ghazwât, atau Beliau mengirim satuan-satuan khusus di bawah pimpinan salah seorang sahabat yang dalam bahasa 'Arab disebut sariyah atau sarâyâ.


Maksudnya, Rasûlullâh saw. menggunakan kekuatan militer bukan untuk memaksa orang masuk Islâm seperti tuduhan sebagian kaum Orientalis, akan-tetapi untuk melancarkan jalan da'wah, yaitu jika da'wah dihalang-halangi.


Ekspedisi Militer


Hanya beberapa bulan setelah kedatangannya di Madinah, Rasûlullâh saw. memulai ekspedisi militer, dengan mengirim beberapa satuan khusus (sariyah) dan juga pasukan yang langsung Beliau pimpin. Dengan adanya ekspedisi militer, wilayah di sekitar Madînah menjadi aman dan praktis Madînah menguasai jalur perdagangan yang biasa dilalui para pedagang dari Makkah ke Syâm. Dan hal ini bisa menjadi ancaman perekonomian Makkah.

Perang Badar pada Tahun Ke 2 H.:

Setelah kedudukan Islâm di Madînah semakin kuat, Rasûlullâh saw. menyiapkan sejumlah pasukan untuk menggempur pasukan Makkah di sebuah tempat bernama Badar, yang terletak di antara Makkah dan Madînah .

Maka pada bulan Ramadhân tahun ke 2 H. pecahlah pertempuran besar yang disebut "Ma'rakatul-Hasimah", perang yang menentukan. Dalam perang itu, kaum Muslimîn yang jumlahnya jauh lebih sedikit -- dengan pertolongan Allâh -- dapat menghancurkan pasukan Makkah.

Kemenangan ini membuat Islâm semakin kuat dan menjadi bukti kebenaran da'wah Rasûlullâh saw. yang tidak dapat dibantah. Orang pun mulai berduyun-duyun datang ke Madînah untuk masuk Islâm. Dalam perang ini Abû Jahal dan beberapa musuh-musuh besar Islâm lainnya mati terbunuh.

Perang Uhud pada Tahun Ke 3 H.:

Kekalahan telak di Badar membuat orang-orang kafir Quraisy bekerja keras untuk memulihkan kedudukan mereka di jazirah 'Arab, serta berusaha membuka kembali jalur perdagangan yang baru. Untuk itu mereka mempersiapkan 3.000 orang prajurit, yang di dalamnya terdapat 200 pasukan kavaleri di bawah komando Khâlid bin Al-Walîd yang saat itu belum masuk Islâm. Dan pada tahun ke 3 H. mereka berangkat menuju Madînah untuk melakukan serbuan. Maka Rasûlullâh saw. pun keluar untuk menghadapi mereka dengan pasukan sebanyak 1.000 orang dari sahabat-sahabatnya. Kedua pasukan itu bertemu di kaki gunung Uhud, dan terjadilah pertempuran seru yang awalnya dimenangkan oleh pasukan Islâm, sampai kemudian pasukan panah yang ditempatkan Rasûlullâh saw. di atas sebuah bukit turun meninggalkan posisi mereka untuk ikut bertempur bersama pasukan Islâm lainnya.

Khâlid bin Al-Walîd segera mengambil kesempatan ini untuk bergerak memutar melalui celah tersebut bersama pasukan kavalerinya, dan menghantam pasukan Islâm dari belakang, membuat barisan mereka kocar-kacir sehingga banyak dari mereka yang mati terbunuh. Sebagian dari mereka pun lari meninggalkan pertempuran, sementara itu Rasûlullâh saw. dengan beberapa orang sahabatnya terus bertempur dengan gagah-berani sampai menderita luka yang cukup parah. Ini semua Beliau lakukan untuk menyelamatkan pasukan Islâm dan menghalangi pasukan Musyrikîn memasuki Madînah . Perang terus berlanjut sehingga Matahari terbenam dan membuat pasukan Musyrikîn keletihan. Dan mereka pun akhirnya mengundurkan diri kembali ke Makkah tanpa berhasil mewujudkan rencana mereka -- menyerbu Madînah --, berkat keteguhan dan keberanian Rasûlullâh saw. serta pandangannya yang jauh.

Walaupun tidak berhasil mewujudkan rencananya, pasukan Musyrikîn berhasil membunuh beberapa prajurit terbaik kaum Muslimîn, seperti Hamzah bin 'Abdul-Muthalib paman Rasûlullâh saw., Mus'ab bin 'Umair pemegang bendera perang dan enam-puluh orang prajurit lainnya. Rasûlullâh saw. dan kaum Muslimîn sangat berduka dengan kematian prajurit-prajurit itu. Namun, mereka mendapat pelajaran yang berharga dari peristiwa ini yang tidak akan mereka lupakan selama-lamanya, yaitu wajibnya mematuhi perintah Rasûlullâh saw. serta merealisasikan segala bentuk kesepakatan yang telah dibuat antara mereka dengan Beliau.

Perang Khandaq (Al-Ahzâb) pada Tahun Ke 5 H .:

Walaupun berhasil memperoleh kemenangan di Uhud, orang-orang Makkah merasa belum puas karena belum berhasil merealisasikan tujuan utama mereka. Memang, mereka senang sekali dapat membunuh prajurit Islâm dalam jumlah yang cukup besar, namun posisi Makkah belum dapat dikatakan pulih, terutama dari segi perdagangan, karena jalur utama perdagangan ke Syâm sepenuhnya masih dikuasai oleh kaum Muslimîn dan qabilah-qabilah yang menetap di sepanjang jalur tersebut, yang satu demi satu masuk Islâm. Sudah tentu ini sangat tidak menguntungkan bagi penduduk Makkah yang kebutuhan ekonominya bergantung pada usaha dagang tersebut. Karena itu Abû Sufyân pemimpin kota Makkah pengganti Abû Jahal bangkit dengan seluruh kekuatan penduduk Makkah yang besar dan semua qabilah yang menjadi sekutu mereka untuk bersama-sama menyerang Madînah pada tahun ke 5 H. Dan Rasûlullâh saw. dengan para sahabatnya menyambut mereka di tepi sebuah parit (khandaq) yang sengaja digali di sekitar kota Madînah. Maka ketika pasukan gabungan kaum Musyrikîn yang besar itu sampai, mereka terhalang oleh parit tersebut dan tidak mampu melaluinya, dan terjadilah pertempuran antara kedua-belah pihak dengan menggunakan panah. Sementara itu pasukan Islâm tetap siaga menjaga parit dengan ketat sepanjang waktu sehingga tidak ada seorang pun prajurit musuh yang mencoba melintasinya melainkan pasti tewas terbunuh di tempat.

Pengepungan itu berlangsung selama dua-minggu sampai Allâh SWT. mengirim angin yang keras dan hujan yang lebat yang menyapu bersih kemah-kemah pasukan Musyrikîn serta memadamkan api-api mereka. Dan mereka pun diserang oleh udara yang sangat dingin sehingga dengan terpaksa mereka melepaskan pengepungan dan segera kembali ke Makkah dengan tangan hampa.

Hal itu merupakan kekalahan yang besar bagi pasukan Musyrikîn di satu sisi, dan di sisi lain merupakan bukti yang terang akan kekuatan umat Islâm dan keteguhan iman mereka, dan juga kejeniusan pemimpin mereka : Muhammad saw.

Pengusiran terhadap Kaum Yahûdi:

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa ada tiga qabilah Yahûdi yang cukup besar, mereka ialah: Banî Qainuqâ', Banî An-Nadhîr dan yang terakhir Banî Quraizhah yang telah menetap di Madînah sebelum hijrahnya Rasûlullâh saw. dan sejak awal kedatangan Beliau, mereka telah menampakkan sikap permusuhan. Bahkan mereka mengingkari kenabian Beliau dengan mengatakan bahwa Nabi terakhir yang mereka tunggu-tunggu kedatangannya adalah dari keturunan Banî Isrâ-îl. Adapun terhadap Rasûlullâh saw. yang berasal dari suku Quraisy, salah satu qabilah 'Arab, mereka menolaknya dengan penuh kedengkian dan kebencian.

Rasûlullâh saw. menerima sikap mereka yang menyakitkan dengan penuh kesabaran, dalam waktu yang cukup lama, karena Beliau mengharapkan mereka menghentikan sikap permusuhannya dan beriman kepada Beliau. Akan tetapi kesabaran Beliau justru menambah sikap keras kepala dan rasa permusuhan mereka terhadap Islâm. Namun, mereka mampu menyembunyikan kebenciannya ketika melihat Islâm semakin bertambah kokoh dan kuat hari demi hari.

Ketika kaum Muslimîn memperoleh kemenangan besar dalam perang Badar, hati kaum Yahûdi Yatsrib semakin terbakar oleh kedengkian yang sangat, sehingga tidak lama setelah itu sebagian dari mereka, yaitu Ban Qainuqâ' membuka kedok kebencian mereka terhadap Islâm dan rasa dengki mereka terhadap pertolongan dan kemenangan yang Allâh berikan kepada kaum Muslimîn di Badar. Dan mereka melakukan penyerangan terhadap Rasûlullâh saw. dan Agama Islâm. Maka Rasûlullâh saw. berangkat dengan pasukannya ke perkampungan mereka, dan Beliau melakukan pengepungan sehingga mereka menyerah. Lalu, Beliau pun mengusir mereka dari Madînah dan mereka pun keluar menuju negeri Syâm.

Kemudian, setelah perang Uhud Yahûdi Banî An-Nadhîr melakukan tipu muslihat untuk membunuh Rasûlullâh saw, yaitu ketika Beliau datang ke perkampungan mereka untuk meminjam sejumlah dana yang dibutuhkan bagi kepentingan umat. Akan tetapi Allâh SWT. menyelamatkan Beliau dari tindakan makar itu dan Beliau pun segera mengambil tindakan tegas dengan mengusir mereka dari Madînah.

Dan yang terakhir adalah Banî Quraizhah, yang melakukan pengkhianatan ketika terjadi perang Khandaq, mereka bergabung dengan pasukan Musyrikîn yang mengepung Madînah, dan memberi izin kepada pasukan itu untuk masuk ke Madînah melalui perkampungan mereka.

Karena pengkhianatan ini, Rasûlullâh saw. dan pasukannya segera berangkat -- yaitu setelah kembalinya pasukan Musyrikîn dari Madînah -- ke perkampungan Banî Quraizhah dan melakukan pengepungan di situ sehingga mereka menyatakan menyerah kepada keputusan yang akan Beliau jatuhkan. Maka, Beliau meminta Sa'ad bin Mu'âdz, salah seorang sahabatnya untuk menjatuhkan hukum terhadap Banî Quraizhah. Dan Beliau memilih Sa'ad atas persetujuan dan permintaan dari Banî Quraizhah sendiri. Maka Sa'ad menjatuhkan hukum yang keras terhadap mereka .

Setelah keputusan Sa'ad bin Mu'âdz dilaksanakan, yaitu hukum eksekusi terhadap Banî Quraizhah, maka kota Madînah menjadi bersih dari segala sarang komplotan tokoh-tokoh Yahûdi, dan kaum Muslimîn pun merasa aman dari ancaman tikaman (serangan) dari sebelah belakang serta kekacauan yang timbul dari dalam. Dan tidak ada lagi orang Yahûdi yang tinggal di Madînah kecuali sedikit, yang masih menjadi sekutu dan menjalin hubungan dengan sebagian kecil suku Al-Aus atau Al-Khazraj. Mereka pun tidak berani memperlihatkan sikap permusuhan atau melakukan pengkhianatan terhadap kaum Muslimîn, dan Rasûlullâh saw. pun membiarkan mereka, sehingga akhirnya sebagian dari mereka masuk Islâm dan sebagian yang lain pura-pura masuk Islâm (munâfiq) karena merasa takut.



Perjanjian Hudaibiyyah pada Tahun Ke 6 H


Setelah Rasûlullâh saw. merasa tenteram dan yakin bahwa semua bahaya, baik yang berupa ancaman atau serbuan dari luar maupun pengkhianatan dari dalam benar-benar telah hilang dari Madînah, Beliau pun mulai menyusun rencana untuk mengambil alih kota Makkah ke dalam wilayah Islâm. Apalagi Beliau mengetahui, bahwa sebagian besar penduduk Makkah sebenarnya telah cenderung untuk masuk ke dalam Islâm, karena mereka telah melihat dengan jelas bagaimana pesatnya kemajuan umat Islâm serta bertambahnya kekuatan militer mereka hari demi hari. Ini berarti, apa yang dijanjikan Al-Qur-ân kepada kaum Muslimîn sewaktu mereka masih dianiaya di Makkah telah mereka peroleh. Dan tidak ada yang menghalangi penduduk Makkah untuk masuk Islâm kecuali sebagian kecil tokoh dan pemimpin Makkah yang merasa kuatir kehilangan kedudukan atau kepentingannya apabila mereka masuk Islâm.

Maka Rasûlullâh saw. menyusun rencana untuk melakukan ibadah 'Umrah bersama para sahabatnya, yaitu: ziarah ke Baitul-Harâm. 'Umrah adalah ibadah yang tidak dibatasi oleh waktu, artinya bisa dilakukan kapan saja, tidak seperti ibadah Haji yang pelaksanaannya dibatasi oleh waktu-waktu yang telah ditetapkan.

Maka Rasûlullâh saw. berangkat bersama 1.400 orang sahabatnya menuju Makkah untuk menunaikan 'Umrah, dan mereka tidak membawa senjata, untuk meyakinkan kepada kaum Quraisy bahwa tujuan mereka tidak lain hanya melaksanakan syi'ar agama.

Namun, ketika rombongan Rasûlullâh saw. sampai di Hudaibiyyah, yaitu sebuah jalan untuk masuk kota Makkah dari arah utara, kaum Quraisy merasa kuatir jika kaum Muslimîn masuk ke Makkah, maka mereka pun mengutus beberapa delegasi untuk menyampaikan kepada Rasûlullâh saw., bahwa mereka tidak bisa menerima kedatangan kaum Muslimîn di Makkah meskipun tidak membawa senjata. Setelah terjadi perundingan yang alot, akhirnya dicapai beberapa kesepakatan, di antaranya kaum Muslimîn tidak boleh masuk Makkah pada tahun ini, mereka baru diizinkan untuk masuk Makkah pada tahun depan, yaitu tahun ke 7 H. Dan kedua belah pihak sepakat untuk menetapkan masa berlakunya perjanjian, yaitu sepuluh-tahun. Perjanjian ini dikenal dengan nama "Perjanjian Hudaibiyyah".

Dan pada tahun ke 7 H., Rasûlullâh saw. dan para sahabatnya melaksanakan 'Umrah dan berziarah ke kota kelahirannya yang telah ditinggalkannya selama tujuh tahun.

Rasûlullâh saw. Menulis Surat kepada Raja-raja Dunia:

Tahun ke 7 H., pasca Perjanjian Hudaibiyyah, Rasûlullâh saw. mengutus beberapa orang delegasi untuk menyampaikan surat Beliau kepada Kaisar Romawi, Kisrâ Persia, dan Raja Qibthi (Mesir). Dalam surat-surat tersebut Beliau mengajak para penguasa dunia itu untuk masuk Islâm. Adapun Kaisar Romawi menyatakan menerima namun masih menunda. Sedangkan Kisrâ Persia bersikap sombong dengan merobek-robek surat Rasûlullâh saw.. Dan Muqauqas menerima dengan cara yang sopan, dan ia mengirimkan hadiyah yang cukup banyak kepada Rasûlullâh saw. melalui delegasi Beliau, namun ia menolak untuk masuk Islâm.

Rasûlulâh saw. juga mengirim beberapa delegasi lainnya kepada para penguasa, pemimpin dan raja-raja 'Arab yang berada di semenanjung jazirah 'Arabia. Sebagian dari mereka ada yang menerima seruan Beliau dan beriman, namun sebagian besar masih tetap menolak.



Menaklukkan Khaibar


Khaibar adalah sekumpulan oase kecil yang terletak di sebelah Timur Laut Madînah yang ketika itu berada di dalam kekuasaan kaum Yahûdi. Mereka membangun beberapa benteng di sekitar Khaibar untuk melindunginya, mengolah seluruh potensinya dan menjadikannya sebagai markas militer dan pusat perbekalan bagi mereka. Dengan kekayaan besar yang mereka miliki, mereka menggerakkan orang-orang 'Arab yang tinggal di sekitar mereka untuk melakukan perlawanan terhadap Madînah dan Islâm.

Maka Rasûlullâh saw. berangkat menuju Khaibar dengan pasukan yang besar dan melakukan pengepungan yang ketat sehingga pasukan Yahûdi terpaksa keluar untuk melakukan pertempuran, namun Rasûlullâh saw. berhasil mematahkan perlawanan mereka dan membuat mereka menyerah. Hal itu diikuti oleh kaum Yahûdi lain yang mendiami beberapa daerah (oase) di sekitarnya, seperti Fadak dan Taymâ'.

Dengan takluknya Khaibar, Rasûlullâh saw. berhasil menumpas sarang komplotan tokoh-tokoh Yahûdi dan menyelamatkan Madînah dari bahaya mereka.


Fathu Makkah pada Tahun Ke 8 H

Menjelang diambil alihnya Makkah oleh Rasûlullâh saw. kekuatan Quraisy sudah semakin melemah, sementara itu kekuatan Rasûlullâh saw. semakin besar dengan tersebar luasnya Islâm, khususnya setelah Perjanjian Hudaibiyyah, di mana Rasûlullâh saw. mendapat kesempatan yang baik dan suasana kondusif untuk menyebarkan Islâm ke seluruh pelosok.

Pada awal tahun ke 8 H., kaum Quraisy mengkhianati perjanjian tersebut, yaitu dengan melakukan penyerangan terhadap Banî Khuza'ah. Maka Rasûlullâh saw. berangkat dengan membawa 10.000 orang tentara Islâm, dan Beliau pun masuk ke Makkah tanpa perlawanan dari Quraisy yang memang sudah tidak memiliki kekuatan untuk menghadapi pasukan Islâm di bawah komando Rasûlullâh saw. pada bulan Ramadhân tahun ke 8 H.

Setelah Beliau masuk Makkah, segeralah Beliau melakukan pembersihan Ka'bah dari berhala-berhala yang berada di dalam dan di sekitarnya. Seluruh berhala dan patung itu Beliau hancurkan. Kemudian kaum Muslimîn mencuci dan membersihkan Ka'bah dari puing-puing berhala-berhala tersebut. Maka, kembalilah kedudukan Ka'bah sebagai rumah Allâh SWT. dimana tidak ada yang disembah di situ selain Allâh.

Peristiwa ini merupakan bukti benarnya janji Allâh SWT. kepada Rasûlullâh saw. dan orang-orang yang beriman, yaitu bahwa Dia akan menolong agama-Nya, Rasûl-Nya dan orang-orang yang beriman kepada-Nya, sebagai balasan atas keikhlasan dan kebenaran mereka serta pengorbanan yang mereka lakukan dengan jiwa dan harta di jalan-Nya.

Tidak lama setelah itu, Islâm pun menyebar di seluruh Makkah dan beberapa masjid pun di bangun, sehingga Makkah menjadi kota dan pusat agama Islâm yang kedua setelah Madînah.



Haji Wadâ' pada Tahun Ke 10 H

Pada bulan Dzul-Hijjah tahun ke 10 H. Rasûlullâh saw. bersiap-siap untuk melaksanakan ibadah haji ke Makkah bersama-sama para sahabat dan kaum Muslimîn yang jumlahnya ribuan orang. Dalam perjalanan inilah dijelaskan dan dicontohkan oleh Rasûlullâh saw. tata-cara pelaksanaan manasik haji dalam bentuknya yang sempurna yang terus berlaku sampai hari ini dan seterusnya.

Ketika melakukan wuqûf di padang 'Arafah, Beliau pun menyampaikan khuthbahnya yang terakhir di hadapan semua manusia, Beliau menyeru mereka untuk memelihara persatuan, bersikap jujur dan benar, menyatukan barisan, menunaikan seluruh peribadatan yang wajib dalam Islâm dan berpegang teguh dengan qaidah akhlaqnya yang tinggi. Kemudian Beliau membacakan firman Allâh yang merupakan wahyu terakhir yang Beliau terima:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ اْلإِسْلاَمَ دِينًا

Artinya :

"Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni`mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.".

(Surah Al-Mâ-idah (5) : 3)

Saat itu kaum Muslimîn merasa, bahwa khuthbah Rasûlullâh saw. merupakan isyarat bahwa Beliau akan pergi meninggalkan mereka selama-lamanya, Beliau pun berpesan kepada mereka agar tetap melaksanakan semua kewajiban Agama sepeninggalnya nanti. Maka, mereka pun merasakan kesedihan yang mendalam mendengar pesan itu.

Setelah kembali ke Madînah, di akhir bulan Shafar Beliau mulai merasakan datangnya penyakit, namun Beliau tetap bekerja seperti biasa sehingga penyakit tersebut benar-benar menghentikan aktifitasnya dan membuatnya terbaring lemah. Setelah menderita sakit selama lima-belas hari, Beliau wafat dengan tenang, pada tanggal 12 Rabî'ul-Awal tahun ke 11 H.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan